(Ditulis oleh: al-Ustadz Muhammad Rijal Isnain, Lc.)
Dalam sebuah hadits, Abu Hurairah z meriwayatkan bahwa Rasulullah n bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
“Sungguh aku diutus menjadi Rasul tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak yang saleh (baik).”
Pada sebagian riwayat:
لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
“Untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Islam adalah agama yang penuh keindahan. Ia dibangun di atas akidah
tauhid yang bersih dari kesyirikan. Ia membebaskan manusia dari
penghambaan kepada makhluk, hingga cinta dan peribadatan hanya untuk
Allah Rabbul ‘Alamin.
Allah l berfirman:
Katakanlah, “Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah
untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian
itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (al-An’am: 162—163)
Ibadahnya mudah, tidak membebani. Dengannya jiwa menjadi suci dan dada
menjadi lapang. Muamalahnya adil dan jauh dari kezaliman, mewujudkan
suasana bantu-membantu di atas takwa dan kebaikan. Demikian pula akhlak
yang dibawa oleh Islam adalah akhlak yang agung dan menakjubkan.
Tentang keindahan Islam ini, asy-Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa’di t
(wafat tahun 1376 H) mengatakan, “Islam memerintahkan segala amalan
kebaikan, akhlak-akhlak mulia, dan seluruh kemaslahatan manusia. Islam
mengajarkan keadilan, keutamaan, kasih sayang dan semua kebajikan.
Sebaliknya, Islam melarang kezaliman, penyimpangan, dan akhlak-akhlak
yang tercela. Tidak ada satu sisi kebaikan pun yang dibawa oleh para
nabi dan rasul melainkan syariat Rasulullah n menetapkannya. Demikian
pula, tidak ada satu maslahat pun baik duniawi maupun ukhrawi yang
diseru oleh syariat nabi-nabi terdahulu melainkan syariat Muhammad n
juga menyeru kepadanya. Demikian pula segala kerusakan, syariat Islam
melarangnya dan memerintahkan agar dijauhi.” (ad-Durrah al-Mukhtasharah
fi Mahasini ad-Dinil Islami)
Keindahan Islam demikian terang. Keagungannya tidak pernah sirna dan
padam hingga akhir zaman. Namun, seperti disabdakan Rasulullah n, Islam
akan menjadi asing sebagaimana dahulu datang pertama kali. Keindahan itu
seolah-olah pudar, tidak lagi dikenal oleh kebanyakan manusia.
Sesungguhnya banyak sebab yang melatarbelakangi pudarnya keindahan
tersebut pada benak kebanyakan manusia, kecuali sedikit dari orang yang
dirahmati oleh Allah l. Ironinya, di antara sebab-sebab itu justru
muncul dari tubuh kaum muslimin.
Sebagian firqah (kelompok sempalan) dalam Islam bersikap ekstrem
(ghuluw) dalam berdakwah, beramar ma’ruf nahi mungkar. Mereka tidak
berlaku hikmah dalam mengingkari kemungkaran, cenderung kepada kekerasan
dan perusakan. Bahkan, sebagian mereka sangat mudah memberi vonis
kekafiran, seperti yang muncul dari orang-orang yang berpaham Khawarij.
Bukan kemungkaran yang hilang, melainkan yang muncul adalah kemungkaran
yang lebih besar. Lihatlah misalnya sejarah Khawarij pada masa Utsman
bin ‘Affan dan Ali c.1 Bukan kemungkaran yang mereka ingkari, namun
kehormatan manusia terbaik saat itu dan persatuan kaum muslimin yang
mereka nodai.
Di sisi lain, ada firqah yang meninggalkan penghidupan dunia hingga anak
istri pun tidak terurus. Anehnya, mereka berdalih dengan tawakal. Hal
ini seperti yang terjadi dalam firqah-firqah yang dibangun di atas
akidah Sufi. Mereka meninggalkan ilmu Al-Kitab dan As-Sunnah, amar
ma’ruf nahi mungkar, tidak peduli kesyirikan merajalela dengan alasan
dakwah tauhid memecah-belah umat. Mereka pun tenggelam dalam kebid’ahan
bahkan kesyirikan.
Lalu di manakah Islam yang sesuai dengan kehendak Allah l dan Rasul-Nya?
Orang yang tidak mengerti akan bimbang menghadapi kenyataan yang ada,
meskipun menara al-haq telah dipancangkan.
Keadaan semakin diperparah oleh propaganda musuh-musuh Islam yang terus
berusaha merusak citra Islam dengan berbagai caci-maki dan tuduhan.
Bahkan, mereka berusaha mengelabui manusia dengan memasukkan pemikiran
sesat melalui institusi-institusi berlabel Islam. Tersebarlah imej bahwa
Islam adalah agama yang tidak berakhlak, dakwah Ahlus Sunnah adalah
dakwah yang keras dan tidak memiliki hikmah, atau tuduhan-tuduhan senada
yang disandangkan kepada agama yang suci dan agung ini.
Kajian hadits berikut kami harapkan bermanfaat bagi kaum muslimin
sehingga mereka bisa melihat kembali sebagian keindahan Islam yang
dibawa oleh Rasulullah n, kesempurnaannya dan ketinggian akhlak yang
beliau n ajarkan. Semoga Allah l membimbing kita untuk kembali pada
akhlak Nabi n.
Takhrij Hadits
Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dalam al-Musnad (2/381),
Ibnu Sa’d dalam ath-Thabaqat (1/192), al-Bazzar dalam al-Musnad (no.
2740—Kasyful Astar), ath-Thahawi dalam Syarah Musykilul Atsar (no.
4432), al-Baihaqi dalam as-Sunan (10/191—192) dan Syu’abul Iman (no.
7977 dan 7978), al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 273) dan
at-Tarikhul Kabir (7/188), al-Hakim dalam al-Mustadrak (2/613),
al-Qudha’i dalam Musnad asy-Syihab (no. 1165), Ibnu Abi ad-Dunya dalam
Makarimul Akhlaq (no. 13), serta Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid
(24/333—334).
Semua meriwayatkan hadits ini melalui jalan Muhammad bin ‘Ajlan, dari al-Qa’qa’ bin Hakim, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah z.
Sebagian meriwayatkan dengan lafadz “shalihal akhlaq” sedangkan yang lainnya dengan lafadz “makarimal akhlaq.”
Hadits di atas adalah sahih, walhamdulillah. Perawi-perawinya tsiqah.
Hadits ini juga memiliki syahid (penguat) dari hadits Mu’adz bin Jabal z
dalam riwayat al-Bazzar (no. 1973) dan ath-Thabarani (20/120). Demikian
juga syahid dari hadits Jabir bin Abdillah z yang diriwayatkan oleh
al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (no. 7979).
Abu Abdillah al-Hakim an-Naisaburi mensahihkan hadits ini dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Lihat al-Mustadrak (2/613).
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah
(1/112) berkata, “Sanad hadits ini hasan … Ibnu Abdil Barr berkata dalam
at-Tamhid (24/333—334) bahwa hadits ini shahih muttashil (bersambung
sanadnya) hingga Rasul n, melalui jalan-jalan yang sahih dari Abu
Hurairah z dan lainnya.”
Fiqih Hadits
Al-Munawi t berkata, “Sabda Rasulullah n ‘innama bu’itstu’ maknanya
adalah aku dibangkitkan—yakni diutus menjadi rasul—tidak lain untuk
menyempurnakan akhlak yang saleh (baik), karena sebagian riwayat
menyebutkan ‘untuk menyempurnakan akhlak yang karimah (mulia)’ (yakni
aku diutus untuk menyempurnakannya) yang sebelumnya kurang, dan aku
(diutus untuk) mengumpulkan yang sebelumnya tercerai-berai ….” (Lihat
Faidhul Qadir, 2/572))
Memaknai hadits Abu Hurairah z di atas, Ibnu Abdil Barr t mengatakan
bahwa kebaikan, agama, keutamaan, muru’ah (kemuliaan), ihsan (perbuatan
baik), dan keadilan, semuanya tercakup dalam makna hadits ini. Dengan
semua kebaikan inilah Rasulullah n diutus untuk menyempurnakannya.
(Lihat at-Tamhid lima fil Muwaththa’ minal Ma’ani wal Asanid, 24/332)
Dengan diutusnya Nabi n, Allah l menyempurnakan agama sebagaimana dalam firman-Nya:
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agama
bagimu.” (al-Maidah: 3)
Ayat ini merupakan dalil bahwa tidak ada satu kebaikan pun—baik amalan
lahir maupun batin, akidah, ibadah, muamalah, maupun akhlak—melainkan
telah diterangkan oleh Rasulullah n dengan sempurna. Demikian pula,
tidak ada satu kejelekan pun melainkan Rasulullah n telah memperingatkan
umat darinya.
Di antara ayat yang juga menunjukkan kesempurnaan Islam—sebagai agama
yang mengajarkan semua kemuliaan dan akhlak yang baik, serta melarang
segala kemungkaran dan akhlak yang buruk—adalah firman Allah l:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebaikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran.” (an-Nahl: 90)
Asy-Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa’di t berkata, “Keadilan yang
diperintahkan oleh Allah l dalam ayat ini mencakup adil dalam (memenuhi)
hak Allah l dan adil dalam hak hamba-hamba-Nya. Adil adalah memenuhi
perintah-perintah-Nya yang terkait dengan harta, badan, atau keduanya,
baik terkait dengan hak Allah l maupun hak hamba-hamba-Nya. Oleh sebab
itu, seorang pemimpin—apakah ia imam (khalifah), qadhi (hakim), atau
wakil keduanya—wajib bergaul dengan manusia secara adil yang sempurna
dengan menunaikan hak-hak orang yang di bawah tanggung jawabnya …
Termasuk keadilan (yang diperintahkan) adalah adil dalam bermuamalah.
Maka dari itu, seseorang wajib berlaku adil dalam muamalah jual-beli
atau muamalah lainnya, dengan menunaikan semua kewajiban, tidak menahan
hak-hak manusia, tidak menipu mereka, tidak mengelabui atau menzaliminya
… Jadi, ayat ini mengumpulkan semua perintah dan larangan. Tidak ada
satu masalah pun kecuali masuk dalam ayat ini.” (Taisir al-Karimir
Rahman secara ringkas, 4/332—333)
Akhlak Rasulullah n
Sebagai Rasul yang diutus untuk menyempurnakan akhlak dan semua
kebaikan, beliau n telah memberikan teladan kepada umatnya secara
sempurna melalui sabda dan amal perbuatan. Seluruh sisi kehidupan dan
ucapan beliau sesungguhnya merupakan teladan akan kesempurnaan akhlak
dan kemuliaan amalan. Ketinggian akhlak itu tecermin dalam hadits Aisyahx:
كاَنَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
“Akhlak Rasulullah n adalah al-Qur’an.” (HR. Muslim)
Bahkan, Allah l memuji akhlak beliau dalam firman-Nya:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (al-Qalam: 4)
Membicarakan akhlak Rasul n, ibarat seseorang yang menyeberang lautan
tak bertepi, begitu luasnya. Meskipun demikian, marilah sejenak kita
menyimak beberapa kisah dalam kehidupan Rasul n bersama umatnya yang
dipenuhi keindahan akhlak dan keagungan budi pekerti.
Saudaraku, semoga Allah l merahmati Anda, beliau n adalah sosok yang
sangat dekat dengan umatnya, apapun keadaan mereka. Kaya, miskin,
bangsawan, atau budak. Beliau bergaul dengan umat dengan penuh
kelembutan dan akhlak mulia.
Allah l menyanjung baiknya akhlak Rasul n ini dalam firman-Nya:
“Maka disebabkan oleh rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu.” (Ali Imran: 159)
Zahir, demikian nama seorang Arab badui. Meski memiliki bentuk dan wajah
yang jelek namun Rasul n mencintainya. Zahir biasa datang ke Madinah
mengunjungi Rasul n membawa hadiah dari desanya. Rasul n pun membalasnya
dengan menyiapkan sesuatu sebelum Zahir pulang ke desa. Rasul n
bersabda, “Zahir adalah badui kita, dan kita adalah orang kotanya dia
(Zahir).”
Suatu hari Zahir berada di pasar kota Madinah menjual barang dagangan.
Tanpa sepengetahuannya, Rasulullah n datang memeluknya dari belakang.
Berkatalah Zahir, “Siapa ini? Lepaskan aku!”
Ketika Zahir menoleh, didapatinya ternyata Nabi n yang memeluknya. Ia
pun membiarkan tubuhnya tetap bersatu dengan tubuh Rasul n.
Subhanallah, betapa indahnya pemandangan ini. Duhai, seandainya para
bangsawan dan orang-orang yang merasa memiliki kemuliaan itu meneladani
akhlak Rasul n dalam bergaul dengan saudara-saudaranya seiman meskipun
miskin dan papa.
Tiba-tiba Rasul n bergurau dengan mengatakan, “Siapa yang mau membeli hamba ini (yakni Zahir)?”
Zahir segera menimpali, “Ya Rasulullah, berarti aku adalah orang yang
tidak berharga?” Rasul n pun berkata, “Tidak demikian, sungguh engkau
mahal di sisi Allah.” (Lihat kisah ini dalam asy-Syama’il
al-Muhammadiyah karya at-Tirmidzi, disahihkan oleh al-Albani t dalam
Mukhtashar asy-Syama’il no. 204)
Beliau n bukan orang yang berperilaku kasar atau berlisan tajam
menyakitkan. Beliau n adalah sosok yang sangat lembut dan penuh kasih
sayang. Terkadang beliau n bersenda gurau dengan para sahabatnya hingga
mereka berkata, “Ya Rasulullah, engkau bersenda gurau dengan kami?”
Beliau bersabda, “Ya, (aku bersenda gurau dengan kalian). Hanya saja,
aku tidak pernah berkata selain yang benar.” (HR. at-Tirmidzi dalam
asy-Syama’il no. 202 dari hadits Abu Hurairah z, disahihkan oleh
al-Albani)
Pernah seorang sahabat datang kepada Rasul n meminta hewan tunggangan.
Beliau n bersabda, “Kalau begitu sungguh aku akan naikkan engkau pada
seekor anak unta!”
Rasulullah n bermaksud memberikan unta yang kuat, tetapi beliau n
bahasakan dengan “anak unta” hingga sahabat ini menyangka bahwa “anak
unta” yang beliau maksud adalah unta kecil yang tidak memiliki kekuatan.
Demikianlah Rasul n bergurau.
Laki-laki ini pun berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang bisa kuperbuat dengan anak unta itu?”
Rasulullah n bersabda, “Bukankah semua unta (perkasa) adalah anak dari seekor unta betina?” (HR. al-Bukhari)
Subhanallah. Lihatlah gurauan Rasul n yang menyejukkan dan jauh dari
kedustaan. Bukankah sepantasnya kita menyudahi banyak gurauan kita yang
dipenuhi kedustaan dan cerita-cerita karangan? Ya Allah, berikan taufik
kepada kami untuk mengikuti jalan Nabi-Mu.
Saudaraku, setelah kita melihat beberapa sisi kehidupan Rasulullah n
yang diliputi kemuliaan akhlak, sejenak kita simak ucapan-ucapan beliau n
tentang akhlakul karimah, yang Allah l utus beliau untuk
menyempurnakannya.
Sabda Rasul n tentang Akhlak
Hadits-hadits Nabi n demikian beragam berbicara tentang akhlak.
Terkadang berisi perintah dan anjuran untuk berhias dengan akhlak yang
terpuji dalam bergaul dengan manusia. Ada kalanya beliau n menyebut
besarnya pahala akhlak mulia dan beratnya pahala akhlak dalam timbangan.
Pada kesempatan yang lain, beliau n memperingatkan manusia dari akhlak
yang buruk dan tercela.
Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash z meriwayatkan bahwa Rasul n pernah bersabda:
إِنَّ مِنْ أَخْيَرِكُمْ أَحْسَنَكُمْ خُلُقًا
“Sesungguhnya yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. al-Bukhari, 10/378 dan Muslim no. 2321)
Dalam hadits lain, Rasul n berpesan kepada Abu Dzar al-Ghifari dan
Mu’adz bin Jabal untuk bergaul dengan manusia dengan akhlak yang baik
dalam sabda beliau:
اتَّقِ اللهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kamu kepada Allah di mana pun kamu berada. Iringilah
kesalahanmu dengan kebaikan, niscaya ia dapat menghapusnya. Dan
pergaulilah semua manusia dengan akhlak (budi pekerti) yang baik.”2 (HR.
at-Tirmidzi no. 1987, beliau mengatakan, “Hadits ini hasan.” Dalam
naskah lainnya dikatakan bahwa hadits ini hasan sahih.
Rasul n mengabarkan pula bahwa akhlak yang baik mampu mengejar amalan
ahli ibadah. Dalam sebuah hadits Aisyah Ummul Mukminin berkata, “Aku
mendengar Rasulullah n bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ
“Sesungguhnya seorang mukmin dengan akhlaknya yang baik akan mencapai
derajat orang yang selalu shalat dan berpuasa.” (HR. Abu Dawud no. 4798,
disahihkan oleh al-Albani)
Ummu ad-Darda’ x meriwayatkan dari suaminya, Abu ad-Darda’ z, Rasulullah n pernah bersabda:
مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي الْمِيْزَانِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ
“Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam al-mizan (timbangan) daripada
akhlak yang baik.” (HR. Abu Dawud no. 4799, disahihkan oleh al-Albani)
Akhlak yang baik adalah sebab seseorang memperoleh derajat yang tinggi
di jannah Allah k. Sebaliknya, akhlak yang buruk adalah sebab seseorang
terhalangi dari kenikmatan jannah.
Dari Abu Umamah z, dia berkata, Rasulullah n bersabda:
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبْضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ
وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا، وَبِبَيْتٍ فِي وَسْطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ
الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحاً، وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ
لَمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ
“Aku memberikan jaminan dengan sebuah rumah di tepi jannah bagi orang
yang meninggalkan perdebatan meskipun ia berhak. Aku juga memberikan
jaminan dengan sebuah rumah di tengah jannah bagi yang meninggalkan
kedustaan walaupun dalam senda gurau. Aku juga menjanjikan sebuah rumah
di jannah tertinggi bagi yang membaguskan akhlaknya.” (HR. Abu Dawud)
Dari al-Haritsah bin Wahb z, ia berkata, Rasulullah n bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةْ الَجوَّاظُ، وَلَا الْجَعْظَرِيُّ
“Tidak akan masuk jannah orang yang kasar dan kaku.” (HR. at-Tirmidzi)
Alhasil, sabda-sabda Nabi n sangat banyak dan beragam dalam
mengungkapkan kedudukan akhlakul karimah dan kemuliaannya. Karena
pentingnya akhlak, ulama ahlul hadits berusaha mengumpulkan
hadits-hadits tersebut dalam kitab-kitab mereka. Al-Bukhari menulis
al-Adabul Mufrad, Abu Dawud membuat sebuah kitab tentang adab dalam
as-Sunan, at-Tirmidzi membuat kitab al-Birr was-Shilah dalam Sunan-nya.
Bahkan, at-Tirmidzi menulis sebuah kitab khusus tentang perikehidupan
Rasul n dari segala sisi, yang beliau beri judul asy-Syamail
al-Muhammadiyah. Demikian pula yang dilakukan oleh ulama-ulama ahlul
hadits lainnya dalam kitab-kitab mereka.
Memohon Akhlak yang Baik dan Berlindung dari Akhlak yang Buruk
Doa adalah sebesar-besar pintu kebaikan karena Allah l telah berjanji
akan mengabulkan doa hamba-Nya. Itulah pintu kebaikan yang seharusnya
seluruh hamba mengetuknya.
Rasulullah n memberikan teladan kepada umatnya agar berdoa memohon
akhlak yang terpuji dan berlindung dari akhlak yang tercela.
Dalam
sebuah hadits, Ibnu Mas’ud z berkata, Rasulullah n berdoa:
اللَّهُمَّ حَسَّنْتَ خَلْقِي فَحَسِّنْ خُلُقِي
“Ya Allah, sebagaimana Engkau baguskan badanku, perbaikilah akhlakku.” (HR. Ahmad, 1/403, Ibnu Hibban no. 959)
Doa ini bebas, bisa dibaca kapan saja seorang menghendaki dan tidak
terikat dengan tempat atau keadaan. Doa ini bukan doa khusus saat
bercermin. Memang benar, ada beberapa jalan dari hadits ini yang
menjelaskan bahwa doa tersebut dibaca saat bercermin namun jalan-jalan
itu sangat lemah.
Asy-Syaikh al-Albani t berkata setelah menyebutkan riwayat-riwayat
hadits yang mengkhususkan doa tersebut saat bercermin, “Nyata sudah dari
penjelasan yang telah lalu bahwa jalan-jalan ini semuanya lemah. Dan
tidak mungkin dikatakan bahwa jalan-jalan itu saling menguatkan karena
kelemahannya yang sangat. Oleh karena itu, tidak benar berdalil dengan
hadits ini dalam hal disyariatkannya doa ini saat bercermin ….” (Irwa’ul
Ghalil, 1/113—115)
Adapun isti’adzah (permohonan perlindungan) yang diajarkan oleh Rasul n
disebutkan dalam riwayat berikut. Dari Ziyad bin ‘Ilaqah, dari
pamannya3, ia berkata, “Adalah Rasulullah n selalu membaca doa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَالْأَهْوَاءِ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari akhlak-akhlak yang mungkar,
dari amalan-amalan yang mungkar, dan dari hawa nafsu yang menyimpang.”
(HR. at-Tirmidzi no. 3591, disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan
at-Tirmidzi, 3/473)
Hadits ini berisi permohonan perlindungan kepada Allah k dari tiga kemungkaran.
1. Berlindung dari akhlak yang mungkar, karena dari akhlak yang mungkar inilah kejelekan-kejelekan menimpa seseorang.
2. Berlindung dari amalan-amalan yang mungkar, yaitu dosa-dosa dan kemaksiatan.
3. Berlindung dari hawa nafsu yang mungkar.
Sebagian ulama mengatakan bahwa kata “akhlak” dalam hadits ini artinya
adalah amalan-amalan batin sedangkan “al-a’mal” adalah amalan-amalan
lahir. Jadi, doa di atas isinya adalah meminta perlindungan kepada Allah
l dari dosa-dosa yang lahir dan batin. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 10/50)
Kembali kepada Akhlak Nabi n
Orang-orang yang jujur dalam mencintai Allah l akan meneladani Rasulullah n dalam hal petunjuk dan akhlaknya. Allah l berfirman:
Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali Imran: 31)
Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi kita dan mendorong diri kita untuk
berusaha mencari kecintaan Allah l dengan kembali pada akhlak Nabi n.
Saya ingin mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh asy-Syaikh
al-Albani t dalam Muqaddimah Mukhtashar asy-Syamail al-Muhammadiyah,
“Aku berharap dengan tulus kepada Allah l semoga kitab ini4 menjadi
bimbingan bagi kaum muslimin untuk mengenal akhlak mulia pada diri Rasul
n dan sifat-sifat agung yang beliau berhias dengannya, sehingga membawa
mereka untuk mengikuti petunjuknya, berakhlak dengan akhlaknya, dan
memetik secercah cahayanya.
Terlebih di zaman yang kaum muslimin hampir-hampir lupa dengan firman Allah l:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (al-Ahzab: 21)
Apalagi di tengah-tengah muslimin ada dai yang merasa tidak butuh
mengikuti Rasulullah n dalam banyak petunjuk dan adabnya, seperti sifat
tawadhu dalam berpakaian, makan, minum, tidur, shalat, dan ibadah-ibadah
beliau n. Bahkan, ada di antara mereka yang mengajari pengikutnya untuk
merasa tidak membutuhkan beberapa petunjuk Rasul n, seperti ajaran
Rasul n untuk makan dan minum dengan duduk, serta ajaran beliau untuk
mengangkat kain di atas kedua mata kaki.
Mereka menganggap semua itu sebagai bentuk memaksakan diri dan sesuatu
yang membuat lari manusia dari Islam. Engkau pun akan mendapati mereka
tidak peduli menyeret bajunya menyentuh tanah dengan dalih bahwa ia
melakukannya bukan karena sombong! Bahkan, ia berdalil dengan sabda
Rasul n kepada Abu Bakr ash-Shiddiq:
لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُ خُيَلَاءً
“Engkau bukan termasuk orang yang melakukannya karena sombong.”
Mereka lalai akan perbedaan yang sangat jauh antara Abu Bakr z dan diri
mereka. Abu Bakr z tidak menyengaja menjulurkan sebagian bajunya di
bawah mata kaki sebagaimana sangat tampak pada ucapan beliau:
إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ إِزَارِي يَسْتَرْخِي
“Sesungguhnya salah satu sisi sarungku melorot (yakni tidak sengaja terjulur di bawah mata kaki, –pen.).”
Adapun mereka menyengaja memanjangkan dan menyeret baju mereka. Mereka
juga bodoh atau pura-pura bodoh terhadap sifat (bentuk) baju Nabi n
(yang tentu kita yakini sebagai sifat baju yang paling baik dan diridhai
Allah l, –pen.) dalam sabda beliau:
هَذَا مَوْضِعُ الْإِزَارِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَلَا حَقَّ لِلْإزَارِ فِي الْكَعْبَيْنِ
“Di sinilah (pertengahan betis inilah –al-Albani) batas kain. Jika
engkau tidak bisa maka di bawahnya. Jika tidak maka tidak ada hak
sedikit pun bagi dua mata kaki (untuk ditutup kain).”
Dalam hadits lain beliau n bersabda:
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإِزَارِ فِي النَّارِ
“Apa yang di bawah dua mata kaki dari kain maka berada di neraka.”
Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar c, beliau berkata, “Suatu
saat aku berpapasan dengan Rasul n, sementara kain yang kupakai menurun.
Beliau bersabda, ‘Wahai Abdullah, tinggikan kainmu!’ Aku pun
menaikkannya. Beliau kembali bersabda, ‘Tambah lagi!’ Aku pun
menambahnya. Semenjak itu, aku terus menjaga kainku (di batas yang
ditentukan oleh Rasulullah n). Sebagian orang bertanya, “Wahai Ibnu
Umar, sampai batas mana (Rasul memerintahkanmu mengangkat kain)?” Ibnu
Umar menjawab, “Sampai pertengahan betis.”
Aku (al-Albani, -pen.) mengatakan, “Orang yang seperti Ibnu Umar
saja—yang termasuk pemuka sahabat yang mulia dan yang paling
bertakwa—Nabi n tidak mendiamkan dengan kainnya yang melorot. Beliau n
memerintahkan Ibnu Umar z untuk mengangkatnya. Bukankah ini menunjukkan
bahwa adab berpakaian di atas mata kaki tidak (hanya) dikaitkan dengan
kesombongan?
(Jika Ibnu Umar z yang jauh dari kesombongan saja ditegur oleh Rasul),
sungguh seandainya Rasulullah n melihat sebagian dai itu menyeret-nyeret
kainnya pasti beliau mengingkarinya. Mereka tidak akan mampu mengelak
dengan ucapan, “Kami tidak menyeretnya karena sombong!” (Tidak mungkin
mereka mengelak,) karena Ibnu Umar yang zuhud lebih jujur daripada
mereka mengatakan, “Aku tidak melakukannya karena sombong.” Meskipun
(Ibnu Umar tidak melakukannya karena sombong), Rasul n tetap
mengingkarinya. Ibnu Umar juga bersegera memenuhi seruan Rasul n. Masih
adakah hari ini orang yang menerima seruan Rasul n?
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan
bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan
pendengarannya, sedangkan dia menyaksikannya.” (Qaf: 37)(Muqaddimah
Mukhtashar asy-Syamail al-Muhammadiyah, hlm. 10—11)
Walhamdulillah Rabbil ‘alamin.
Sumber: http://asysyariah.com/meneladani-akhlak-nabi/ (Judul Asli: Meneladani Akhlak Nabi)