Mulai

Semangat

Siapakah Ahlus Sunnah

Istilah Ahlus Sunnah tentu tidak asing bagi kaum muslimin. Bahkan mereka semua mengaku sebagai Ahlus Sunnah. Tapi siapakah Ahlus Sunnah itu?

Meneladani Akhlaq Nabi

Dalam sebuah hadits, Abu Hurairah z meriwayatkan bahwa Rasulullah n bersabda: إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ “Sungguh aku diutus menjadi Rasul tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak yang saleh (baik).”

Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Rujukan Dalam Beragama

Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang paling antusias dalam merujuk kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdasarkan pada pemahaman para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ahlus Sunnah Mengimani bahwa Allah Ta'ala Berada di atas Arsy-Nya

“Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia ber-istiwa` di atas ‘Arsy. Tidak ada bagi kamu selain daripada-Nya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafaat. Maka apakah kamu tidak memerhatikan?” (As-Sajdah: 4)

Rabu, 05 November 2014

Ahlus Sunnah Mendo'akan Penguasanya dan Tidak Merendahkannya



Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf


Al-Imam al-Barbahari 
rahimahumallah berkata, “Apabila engkau melihat ada orang yang mendoakan kebaikan untuk penguasa, ketahuilah dia seorang Ahlus Sunnah, insya Allah.”

Al-Imam Fudhail bin Iyadh rahimahumallah berkata, “Sekiranya aku mempunyai doa (yang terkabul), aku tidak akan mengarahkannya kecuali untuk penguasa.”

Seseorang bertanya, “Hai Abu Ali (Fudhail), jelaskan maksud kalimat ini kepada kami semua.”
Al-Imam Fudhail rahimahumallah menjawab, “Jika aku arahkan pada diriku, kebaikannya tidak akan kembali kecuali kepada diriku. Akan tetapi, jika aku arahkan kepada penguasa, penguasa itu akan menjadi baik sehingga baiklah keadaan rakyat dan negara.”

Maka dari itu, kita diperintah mendoakan waliyyul amri dengan kebaikan serta dilarang mencemooh atau memberontaknya walaupun penguasa itu zalim dan jahat. Sebab, kezaliman dan kejahatannya kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan kebaikannya selain kembali kepada dirinya juga untuk seluruh muslimin.” (Syarhu Sunnah) 

Di dalam kitab I’tiqad Ahlus Sunnah, al-Imam al-Isma’ili rahimahumallah mengemukakan bahwa mereka, Ahlus Sunnah, memandang harusnya mendoakan kebaikan bagi penguasa dan mendorongnya berbuat adil. Ahlus Sunnah tidak memandang bolehnya memberontak dengan pedang/ senjata.

Al-Imam ath-Thahawi rahimahumallah mengatakan, “Kami, Ahlus Sunnah, mendoakan kebaikan dan keselamatan untuk waliyyul amri.” (al-Aqidah ath- Thahawiyyah)

Asy-Syaikh al-Allamah Shalih al-Fauzan menambahkan catatan penting atas apa yang telah dikemukakan al-Imam ath-Thahawi rahimahumallah di atas.

Beliau berkata, “Kami, Ahlus Sunnah, senantiasa berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala agar Allah Subhanahu wata’ala mengembalikan waliyyul amri kepada kebenaran dan meluruskan kesalahan yang ada pada mereka. Kami mendoakan kebaikan untuk mereka.

Sebab, kebaikannya adalah kebaikan untuk kaum muslimin dan petunjuknya adalah petunjuk bagi kaum muslimin. Kemanfaatan yang ditimbulkannya pun akan meluas dan dirasakan oleh semua pihak. Ketika Anda berdoa kebaikan  untuk mereka, secara otomatis berdoa untuk kebaikan kaum muslimin.” (Ta’liq ala ath-Thahawiyyah)

Samahatul Allamah Ibnu Baz rahimahumallah berkata, “Sebagai bentuk tuntutan dari bai’at (janji setia) adalah menyampaikan nasihat kepada waliyyul amri. Salah satu bentuk nasihat itu ialah mendoakan waliyyul amri agar mendapatkan taufik, hidayah, dan kebaikan dalam hal niat dan amal, serta diberi pendamping yang baik.” (ad-Dur al-Mantsur)


Menggunjing & Membicarakan Kejelekan Waliyyul amri, Ciri Ahlul Bid’ah

Al–Imam Ibnul Jauzi rahimahumallah menyebutkan dalam kitab Adab al- Hasan al-Bashri, al-Hasan Basri rahimahumallah mendengar seseorang membicarakan kejelekan pemerintah lantas mengajak melakukan pemberontakan kepada al- Hajjaj (seorang penguasa yang zalim).

Al-Imam al-Hasan Bashri rahimahumallah berkata, “Jangan engkau lakukan itu, semoga Allah Subhanahu wata’ala merahmatimu. Sesungguhnya kalian diberi pemimpin itu dari kalangan kalian sendiri. Kami khawatir, jika al-Hajjaj lepas dari kursi kepemimpinannya atau mati, yang menggantikannya justru dari bangsa kera dan babi (Yahudi dan Nasrani).”

Al-Allamah al-Fauzan hafizhahullah menegaskan, “Tidak boleh menjelekjelekkan atau menggunjing waliyyul amri. Sebab, hal ini berarti pemberontakan secara maknawi layaknya pemberontakan menggunakan pedang. Yang wajib adalah mendoakannya agar mendapatkan kebaikan dan petunjuk.”

Inilah ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah. Apabila Anda mendapati ada orang yang menjelek-jelekkan dan menggunjing waliyyul amri, ketahuilah bahwa orang itu sesat akidahnya dan tidak berada di atas manhaj salaf. Sebagian orang menganggap membicarakan kejelekan dan memberontak kepada waliyyul amri adalah bentuk kecemburuan dan benci karena Allah Subhanahu wata’ala. Akan tetapi, hal itu sebenarnya adalah kecemburuan dan kebencian yang tidak pada tempatnya. Sebab, jika pemberontakan itu berhasil menggulingkan waliyyul amri, terjadilah berbagai kerusakan.” (Ta’liq ala ath- Thahawiyyah)

Wallahu a’lam.

Sumber: http://asysyariah.com/kajian-utama-ahlus-sunnah-mendoakan-waliyyul-amri/ (Judul asli: Kajian Utama ”Ahlus Sunnah Mendoakan Waliyyul amri“)

Minggu, 26 Oktober 2014

Ahlus Sunnah Mengimani bahwa Allah Ta'ala Berada di atas Arsy-Nya



Bagaimana membantah orang-orang yang mengatakan: Bahwa Allah l di mana-mana? Maha Tinggi Allah dari hal itu. Dan apa hukum orang yang mengatakannya?

Jawaban:

Ahlus Sunnah wal Jamaah berkeyakinan bahwa Allah l berada di atas Arsy (singgasana)-Nya. Tidak di dalam alam, bahkan terpisah darinya. Dan Dia mengetahui serta melihat segala sesuatu. Tiada yang tersembunyi baginya sesuatupun baik di bumi maupun di langit.

Allah l berfirman:

“Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia ber-istiwa` (berada/naik) di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Rabb semesta alam.” (Al-A’raf: 54)

“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwa` di atas ‘Arsy.” (Thaha: 5)

“Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia ber-istiwa` di atas ‘Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia.” (Al-Furqan: 59)

“Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia ber-istiwa` di atas ‘Arsy. Tidak ada bagi kamu selain daripada-Nya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafaat. Maka apakah kamu tidak memerhatikan?” (As-Sajdah: 4)

“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air.” (Hud: 7)

Di antara yang menunjukkan ketinggian Allah di atas makhluk-Nya adalah turunnya Al-Qur`an dari-Nya. Dan tidaklah dikatakan turun kecuali dari atas ke bawah.

Allah l berfirman:

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur`an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu.” (Al-Ma`idah: 48)

“Haa Miim. Diturunkan Kitab ini (Al-Qur`an) dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Ghafir: 1-2)

“Haa Miim. Diturunkan dari Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Fushshilat: 1-2)

Dan ayat-ayat yang lain yang menunjukkan ketinggian Allah l di atas makhluk-Nya.
Dalam hadits Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami z, ia mengatakan:
“Aku memiliki seorang budak wanita yang menggembalakan kambingku di daerah Uhud dan Al-Jawwaniyyah. Pada suatu hari, aku melihat ternyata seekor serigala telah membawa seekor kambing yang digembalanya. Aku adalah seorang manusia dari bani Adam, yang bisa marah sebagaimana orang-orang marah, hingga aku menamparnya satu kali.

Maka aku datang kepada Rasulullah n, lantas beliau menilainya sebagai suatu perkara besar atasku. Sehingga aku katakan: ‘Tidakkah kubebaskan saja dia?’

Beliau menjawab: ‘Bawa dia kemari.’ Akupun membawanya kepada beliau.

Beliaupun mengatakan kepadanya: ‘Di manakah Allah?’, ‘Di atas langit,’ jawabnya.

‘Siapakah aku?’ tanya Rasulullah. ‘Engkau adalah Rasulullah,’ jawabnya.

Lantas beliau mengatakan: ‘Bebaskan dia, sesungguhnya dia adalah wanita mukminah.’ Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, An-Nasa`i, dan yang lain.
Dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri z, ia mengatakan:
Rasulullah n bersabda:

أَلَا تَأْمَنُونِي وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِي السَّمَاءِ يَأْتِينِي خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً

“Tidakkah kalian percaya kepadaku, sementara aku adalah kepercayaan Yang di atas langit? Datang kepadaku berita langit pagi dan petang hari.”

Kedua: Barangsiapa meyakini bahwa Allah l berada di mana-mana maka dia tergolong aliran Hululiyyah (yang meyakini bahwa Allah l bersatu dengan makhluk-Nya, red.). Orang seperti itu dibantah dengan dalil-dalil yang telah lalu, yang menunjukkan bahwa Allah berada pada ketinggian dan berada di atas Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya. Kalau dia tunduk kepada apa yang telah ditunjukkan oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah serta ijma (kesepakatan) (maka itu yang seharusnya, red.). Kalau tidak tunduk maka dia kafir, murtad dari agama Islam.

Adapun firman Allah l:

“Dan dia bersama kalian di manapun kalian berada.” (Al-Hadid: 4) Maknanya menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah bahwa Allah l bersama mereka dengan ilmu-Nya, Dia mengetahui keadaan mereka.

Adapun firman Allah l:

”Dan Dialah Allah (Yang disembah), baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.” (Al-An’am: 3)

Maka maknanya bahwa Allah l adalah Dzat yang diibadahi penghuni langit dan bumi.

Adapun firman Allah l:

”Dan Dia-lah Ilah (Yang disembah) di langit dan Ilah (Yang disembah) di bumi dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Az-Zukhruf: 84)

Maknanya bahwa Allah l adalah sesembahan penduduk langit dan penduduk bumi, tiada yang diibadahi dengan benar selain Dia. Demikianlah penggabungan antara ayat-ayat dan hadits-hadits yang datang dalam masalah ini menurut pemeluk kebenaran.

Wa billahi taufiq washallahu ‘ala nabiyyina Muhammad, wa alihi wa shahbihi wa sallam.

Ditandatangani oleh:
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Anggota: Abdurrazzaq Afifi, Abdullah Ghudayyan, dan Abdullah bin Qu’ud
(Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 3/218)

Sumber: http://asysyariah.com/allah-ada-di-mana-mana/ (Judul Asli: Allah ada di mana-mana?)

Siapakah Ahlus Sunnah wal Jama'ah ?


(Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi)

Istilah Ahlus Sunnah tentu tidak asing bagi kaum muslimin. Bahkan mereka semua mengaku sebagai Ahlus Sunnah. 

Tapi siapakah Ahlus Sunnah itu? Dan siapa pula kelompok yang disebut Rasulullah sebagai orang-orang asing?

Telah menjadi ciri perjuangan Iblis dan tentara-tentaranya untuk terus berupaya mengelabui manusia. Yang batil bisa menjadi hak dan sebaliknya, yang hak bisa menjadi batil. Sehingga ahli kebenaran bisa menjadi pelaku maksiat yang harus dimusuhi dan diisolir. Dan sebaliknya, pelaku kemaksiatan bisa menjadi pemilik kebenaran yang harus dibela. Syi’ar pemecah belah ini merupakan ciri khas mereka dan mengganggu perjalanan manusia menuju Allah I merupakan tujuan tertinggi mereka.

Tidak ada satupun pintu kecuali akan dilalui Iblis dan tentaranya. Dan tidak ada satupun amalan kecuali akan dirusaknya, atau minimalnya mengurangi nilai amalan tersebut di sisi Allah I.

Iblis mengatakan di hadapan Allah I:

“Engkau telah menyesatkanku maka aku akan benar-benar menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus dan aku akan benar-benar mendatangi mereka dari arah depan dan belakang, dan samping kiri dan samping kanan.” (Al-A’raf: 17)

Dalam upaya mengelabui mangsanya, Iblis akan mengatakan bahwa ahli kebenaran itu adalah orang yang harus dijauhi dan dimusuhi, dan kebenaran itu menjadi sesuatu yang harus ditinggalkan, dan dia mengatakan:

“Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (Al-A’raf: 17)

Demikian halnya yang terjadi pada istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Istilah ini lebih melekat pada gambaran orang-orang yang banyak beribadah dan orang-orang yang berpemahaman sufi. Tak cuma itu, semua kelompok yang ada di tengah kaum muslimin juga mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Walhasil, nama Ahlus Sunnah menjadi rebutan orang.
Mengapa demikian? Apakah keistimewaan Ahlus Sunnah sehingga harus diperebutkan? Dan siapakah mereka sesungguhnya?

Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita harus merujuk kepada keterangan Rasulullah r dan ulama salaf dalam menentukan siapakah mereka yang sebenarnya dan apa ciri-ciri khas mereka. Jangan sampai seperti yang digambarkan sebuah sya’ir:
Semua mengaku punya hubungan dengan Laila
Namun Laila tidak mengakui yang demikian itu

Yaitu, tidak ada maknanya kalau hanya sebatas pengakuan, sementara dirinya jauh dari kenyataan.

Secara fitrah dan akal dapat kita bayangkan, sesuatu yang diperebutkan tentu memiliki keistimewaan dan nilai tersendiri. Dan sesuatu yang diakuinya, tentu memiliki makna jika mereka bersimbol dengannya.

Mereka mengakui bahwa Ahlus Sunnah adalah pemilik kebenaran. Buktinya, setelah mereka memakai nama tersebut, mereka tidak akan ridha untuk dikatakan sebagai ahli bid’ah dan memiliki jalan yang salah. Bahkan mereka akan mengatakan bahwa dirinya merupakan pemilik kebenaran tunggal sehingga yang lain adalah salah.

Mereka tidak sadar, kalau pengakuannya tersebut bisa jadi merupakan langkah untuk membongkar kedoknya sendiri dan memperlihatkan kebatilan jalan mereka. Yang akan mengetahui hal yang demikian itu adalah yang melek di antara mereka.


As-Sunnah

Berbicara tentang As-Sunnah secara bahasa dan istilah sangat penting sekali.

Di samping untuk mengetahui hakikatnya, juga untuk mengeluarkan mereka-mereka yang mengakui sebagai Ahlus Sunnah, padahal bukan. Mendefinisikan As-Sunnah ditinjau dari beberapa sisi yaitu menurut bahasa, syariat dan menurut generasi pertama, ahlul hadits, ulama ushul fiqih, dan ahli fiqih.


As-Sunnah menurut Bahasa

As-Sunnah menurut bahasa adalah As Sirah (perjalanan), yang baik ataupun yang buruk. 
Khalid bin Zuhair Al-Hudzali berkata:

Jangan kamu sekali-kali gelisah karena sunnah yang kamu tempuh
Orang yang pertama ridha terhadap suatu sunnah adalah yang menjalaninya.

Sunnah dalam ucapan tersebut di atas berarti jalan.


As Sunnah menurut Syariat dan Generasi yang Pertama

Apabila terdapat kata sunnah dalam hadits Rasulullah r atau dalam ucapan para shahabat dan tabi’in, maka yang dimaksud adalah makna yang mencakup dan umum. Mencakup hukum-hukum baik yang berkaitan langsung dengan keyakinan atau amal, baik hukumnya wajib, sunnah atau mubah.

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari (10/341) berkata:

“Telah tetap bahwa kata sunnah jika terdapat dalam hadits Rasulullah r, maka yang dimaksud bukanlah sunnah sebagai lawan wajib (apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa, pent.).”

Ibnu ‘Ajlan berkata dalam kitab Dalilul Falihin (1/415) ketika beliau mensyarah hadits fa’alaikum bisunnati (maka wajib atas kalian berpegang dengan sunnahku):

“Artinya jalan dan langkahku yang aku berjalan di atasnya, berupa apa-apa yang telah aku rincikan kepada kalian berupa hukum-hukum i’tiqad (keyakinan) dan amalan-amalan, baik yang wajib, sunnah, dan sebagainya.”

Al-Imam Ash-Shan’ani di dalam kitab Subulus Salam (1/187), ketika beliau mensyarah hadits Abu Sa’id Al-Khudri z, berkata:

“Di dalam hadits tersebut disebutkan kata ‘Ashabta As Sunnah’ (kamu telah menepati sunnah), yaitu jalan yang sesuai dengan syariat.”

Jika meneliti nash-nash yang menyebutkan kata As Sunnah, maka akan jelas apa yang dimaukan dengan kata tersebut yaitu: “Jalan yang terpuji dan langkah yang diridhai yang telah dibawa oleh Rasulullah r.”

Dari sini jelaslah kekeliruan orang-orang yang menisbahkan diri kepada ilmu yang menafsirkan kata sunnah dengan istilah ulama fiqih saja sehingga mereka terjebak dalam kesalahan yang fatal.

As-Sunnah menurut Ahli Hadits

As-Sunnah menurut jumhur ahli hadits adalah sama dengan hadits yaitu: “Apa-apa yang diriwayatkan dari Rasulullah r baik berbentuk ucapan, perbuatan, ketetapan, dan sifat baik khalqiyah (bentuk) atau khuluqiyah (akhlak).

As-Sunnah menurut Ahli Ushul Fiqih

Menurut ahli ushul fiqih, As-Sunnah adalah dasar dari dasar-dasar hukum syariat dan juga dalil-dalilnya.

Al-Amidi dalam kitab Al-Ihkam (1/169) mengatakan:

“Apa-apa yang datang dari Rasulullah r berupa dalil-dalil syariat, yang bukan dibaca (maksudnya bukan Al-Qur`an, red) dan bukan mu’jizat…”

As-Sunnah Menurut Ulama Fiqih

As Sunnah menurut mereka adalah segala sesuatu yang jika dikerjakan mendapat pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa.

Di sini bisa dilihat, mereka yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah –dengan hanya menyandarkan istilah ahli fiqih–, tidaklah memiliki dalil yang kokoh sedikitpun dan tidak memiliki rujukan. Jika merujuk pada istilah syariat dan generasi pertama, mereka benar-benar telah sangat jauh. Jika bersandar pada istilah ulama ushul, merekapun tidak akan menemukan jawabannya. Jika menggunakan istilah ulama hadits, orang-orang yang mengaku Ahlus Sunnah tidak layak sedikitpun untuk menyandang istilah tersebut.

Barangkali hanya istilah bahasa yang bisa dijadikan ‘dalil’. Itupun, tidak bisa dijadikan hujjah dalam melangkah, terlebih dalam menghalalkan sesuatu atau mengharamkannya.

Ahlus Sunnah dan Ciri-cirinya

Jadi, definisi Ahlus Sunnah seperti dijelaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, adalah yang berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, dan apa yang telah disepakati oleh para pendahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. (Majmu’ Fatawa, juz 3 hal. 375)

Adapun ciri-ciri Ahlus Sunnah yang menunjukkan hakikat mereka adalah:

q Mereka adalah orang-orang yang mengikuti jalan Rasulullah r dan jalan para shahabatnya, yang menyandarkan pada Al-Qur‘an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafush shalih. Yaitu pemahaman generasi pertama umat ini dari kalangan shahabat, tabi’in dan generasi setelah mereka. 

Rasulullah r bersabda:

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian orang-orang setelah mereka kemudian orang-orang setelah mereka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad)

q Mereka kembalikan segala bentuk perselisihan yang terjadi di kalangan mereka kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah dan siap menerima apa-apa yang telah diputuskan oleh Allah I dan Rasulullah r. 

Allah I berfirman:

“Maka jika kalian berselisih dalam satu perkara, kembalikanlah kepada Allah dan Rasulullah jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan yang demikian itu adalah baik dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`: 59)

“Tidak pantas bagi seorang mukmin dan mukminat apabila Allah dan Rasul-Nya memutuskan suatu perkara untuk mereka, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)

q Mereka mendahulukan ucapan Allah I dan Rasul r di atas ucapan selainnya.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahulukan (ucapan selain Allah dan Rasul) di atas ucapan Allah dan Rasul dan bertaqwalah kalian kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)

q Menghidupkan Sunnah Rasulullah r baik dalam ibadah mereka, akhlak mereka, dan dalam semua sendi kehidupan, sehingga mereka menjadi orang asing di tengah kaumnya. 

Rasulullah r bersabda tentang mereka:

“Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali pula dan keadaan asing, maka berbahagialah orang-orang yang dikatakan asing.” (Shahih, HR. Muslim dari hadits Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar c)

q Mereka adalah orang-orang yang sangat jauh dari sifat fanatisme golongan. Dan mereka tidak fanatik kecuali kepada Kalamullah dan Sunnah Rasulullah r. 

Al-Imam Malik t mengatakan:
“Setiap orang ucapannya bisa diambil dan bisa ditolak, kecuali ucapan Rasulullah r .”

q Mereka adalah orang-orang yang menyeru segenap kaum muslimin agar bepegang dengan Sunnah Rasulullah r dan sunnah para shahabatnya.

q  Mereka adalah orang-orang yang memikul amanat amar ma’ruf dan nahi munkar sesuai dengan apa yang dimaukan Allah I dan Rasul-Nya. Dan mereka mengingkari segala jalan bid’ah (lawannya sunnah) dan mengingkari kelompok-kelompok yang akan mencabik-cabik barisan kaum muslimin.

q Mereka adalah orang-orang yang mengingkari undang-undang yang dibuat oleh manusia yang menyelisihi undang-undang Allah I dan Rasulullah r.

q Mereka adalah orang-orang yang siap memikul amanat jihad fi sabilillah apabila agama menghendaki yang demikian itu.

Asy-Syaikh Rabi’ dalam kitab Makanatu Ahlil Hadits (hal. 3-4) berkata:
 “Mereka adalah orang-orang yang menempuh manhaj (metodologi)-nya para shahabat dan tabi’in dalam berpegang terhadap Kitabullah dan Sunnah Rasulullah r dan menggigitnya dengan gigi geraham mereka. Mereka mendahulukan keduanya di atas setiap ucapan dan petunjuk, baik yang terkait dengan aqidah, ibadah, mu’amalat, akhlak, politik, maupun persatuan. Mereka adalah orang-orang yang kokoh di atas prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya sesuai dengan apa yang diturunkah Allah I kepada hamba dan Rasul-Nya Muhammad r. Mereka adalah orang-orang yang tampil untuk berdakwah dengan penuh semangat dan kesungguhan. Mereka adalah para pembawa ilmu nabawi yang melumatkan segala bentuk penyelewengan orang-orang yang melampaui batas, kerancuan para penyesat, dan takwil orang-orang bodoh. Mereka adalah orang-orang yang selalu mengintai setiap kelompok yang menyeleweng dari manhaj Islam seperti Jahmiyah, Mu’tazilah, Khawarij, Rafidhah (Syi’ah), Murji`ah, Qadariyah, dan setiap orang yang menyeleweng dari manhaj Allah I, mengikuti hawa nafsu pada setiap waktu dan tempat. Dan mereka tidak pernah mundur karena cercaan orang yang mencerca.”

Ciri Khas Mereka

Mereka adalah umat yang baik dan jumlahnya sangat sedikit, yang hidup di tengah umat yang sudah rusak dari segala sisi. Rasulullah r bersabda:

“Berbahagialah orang yang asing itu, (mereka adalah) orang-orang baik yang berada di tengah orang-orang jahat yang banyak. Dan orang yang tidak menaati mereka lebih banyak daripada orang yang mengikuti mereka.” (Shahih, HR. Ahmad, lihat Shahihul Jami’ no. 3921)

Ibnul Qayyim dalam kitabnya Madarijus Salikin (3/199-200), berkata:

“Ia adalah orang asing dalam agamanya dikarenakan rusaknya agama manusia. Dia asing dalam berpegangnya terhadap As Sunnah karena manusia berpegang kepada bid’ah, asing pada keyakinannya dikarenakan telah rusak keyakinan manusia, asing pada shalatnya dikarenakan jeleknya shalat manusia, asing pada jalannya dikarenakan sesat dan rusaknya jalan manusia, asing pada nisbahnya dikarenakan rusaknya nisbah manusia, asing dalam pergaulannya bersama manusia dikarenakan dia bergaul dengan apa yang tidak diinginkan oleh hawa nafsu manusia.”

Kesimpulannya, dia asing dalam urusan dunia dan akhiratnya, dan dia tidak menemukan seorang penolong dan pembela. Dia sebagai orang yang berilmu di tengah orang-orang jahil, pemegang As Sunnah di tengah ahli bid’ah, penyeru kepada Allah  I dan Rasul-Nya di tengah orang-orang yang menyeru kepada hawa nafsu dan bid’ah, penyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran di tengah kaum di mana sesuatu yang ma’ruf menjadi munkar dan yang munkar menjadi ma’ruf.”

Ibnu Rajab t dalam kitab Kasyfu Al-Kurbah Fi Washfi Ahlil Ghurbah (hal. 16-17) mengatakan:

“Fitnah syubhat dan hawa nafsu yang menyesatkan inilah yang telah menyebabkan berpecahnya ahli kiblat menjadi berkeping-keping. Sebagian mengkafirkan yang lain sehingga mereka menjadi bermusuh-musuhan, berpecah-belah dan berpartai-partai yang dulunya mereka berada di atas satu hati. Dan tidak ada yang selamat dari semuanya ini melainkan satu kelompok. Merekalah yang disebutkan dalam sabda Rasulullah r: “Dan terus menerus ada sekelompok dari umatku yang membela kebenaran dan tidak ada seorangpun yang mampu memudharatkannya dari siapapun yang menghinakan dan menyelisihi mereka, sampai datangnya keputusan Allah dan mereka tetap di atas yang demikian itu.”

Mereka adalah orang yang di akhir jaman dalam keadaan asing sebagaimana telah disebutkan dalam hadits, yaitu orang-orang yang memperbaiki ketika rusaknya manusia. Merekalah orang-orang yang memperbaiki Sunnah Rasulullah r yang telah dirusak oleh manusia. Merekalah orang-orang yang lari dari fitnah dengan membawa agama mereka. Mereka adalah orang yang sangat sedikit di tengah-tengah kabilah dan terkadang tidak didapati pada sebuah kabilah kecuali satu atau dua orang, bahkan terkadang tidak didapati satu orangpun sebagaimana permulaan Islam.

Dengan dasar inilah, para ulama menafsirkan hadits ini. Al-Auza’i t mengatakan tentang sabda Rasulullah r: “Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing”: “Adapun Islam itu tidak akan pergi, akan tetapi Ahlus Sunnah yang akan pergi sehingga tidak tersisa di sebuah negeri melainkan satu orang.” Dengan makna inilah didapati ucapan salaf yang memuji As Sunnah dan menyifatinya dengan asing serta menyifati pengikutnya dengan kata sedikit.” (Lihat Kitab Ahlul Hadits Hum Ath-Tha`ifah Al-Manshurah, hal. 103-104)

Demikianlah sunnatullah para pengikut kebenaran. Sepanjang perjalanan hidup selalu dalam prosentase yang sedikit. 

Allah I berfiman:

“Dan sedikit dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Saba`: 13)

Dari pembahasan singkat ini, akan jelas siapa sebenarnya Ahlus Sunnah itu dan siapa-siapa yang hanya mengaku-ngaku Ahlus Sunnah. Benarlah ucapan seorang penyair yang mengatakan:
Semua mengaku punya hubungan dengan Laila
Namun Laila tidak mengakui yang demikian itu

Jadi, Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang mengikuti Al Qur`an dan As Sunnah dengan pemahaman salafush shalih.

Wallahu a’lam.

Sumber: http://asysyariah.com/siapakah-ahlussunnah/

Meneladani Akhlak Nabi Shollallaahu 'Alaihi wa Sallam



(Ditulis oleh: al-Ustadz Muhammad Rijal Isnain, Lc.)

Dalam sebuah hadits, Abu Hurairah z meriwayatkan bahwa Rasulullah n bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

“Sungguh aku diutus menjadi Rasul tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak yang saleh (baik).”

Pada sebagian riwayat:

لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ

“Untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”

Islam adalah agama yang penuh keindahan. Ia dibangun di atas akidah tauhid yang bersih dari kesyirikan. Ia membebaskan manusia dari penghambaan kepada makhluk, hingga cinta dan peribadatan hanya untuk Allah Rabbul ‘Alamin.

Allah l berfirman:

Katakanlah, “Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (al-An’am: 162—163)

Ibadahnya mudah, tidak membebani. Dengannya jiwa menjadi suci dan dada menjadi lapang. Muamalahnya adil dan jauh dari kezaliman, mewujudkan suasana bantu-membantu di atas takwa dan kebaikan. Demikian pula akhlak yang dibawa oleh Islam adalah akhlak yang agung dan menakjubkan.

Tentang keindahan Islam ini, asy-Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa’di t (wafat tahun 1376 H) mengatakan, “Islam memerintahkan segala amalan kebaikan, akhlak-akhlak mulia, dan seluruh kemaslahatan manusia. Islam mengajarkan keadilan, keutamaan, kasih sayang dan semua kebajikan. Sebaliknya, Islam melarang kezaliman, penyimpangan, dan akhlak-akhlak yang tercela. Tidak ada satu sisi kebaikan pun yang dibawa oleh para nabi dan rasul melainkan syariat Rasulullah n menetapkannya. Demikian pula, tidak ada satu maslahat pun baik duniawi maupun ukhrawi yang diseru oleh syariat nabi-nabi terdahulu melainkan syariat Muhammad n juga menyeru kepadanya. Demikian pula segala kerusakan, syariat Islam melarangnya dan memerintahkan agar dijauhi.” (ad-Durrah al-Mukhtasharah fi Mahasini ad-Dinil Islami)

Keindahan Islam demikian terang. Keagungannya tidak pernah sirna dan padam hingga akhir zaman. Namun, seperti disabdakan Rasulullah n, Islam akan menjadi asing sebagaimana dahulu datang pertama kali. Keindahan itu seolah-olah pudar, tidak lagi dikenal oleh kebanyakan manusia. Sesungguhnya banyak sebab yang melatarbelakangi pudarnya keindahan tersebut pada benak kebanyakan manusia, kecuali sedikit dari orang yang dirahmati oleh Allah l. Ironinya, di antara sebab-sebab itu justru muncul dari tubuh kaum muslimin.

Sebagian firqah (kelompok sempalan) dalam Islam bersikap ekstrem (ghuluw) dalam berdakwah, beramar ma’ruf nahi mungkar. Mereka tidak berlaku hikmah dalam mengingkari kemungkaran, cenderung kepada kekerasan dan perusakan. Bahkan, sebagian mereka sangat mudah memberi vonis kekafiran, seperti yang muncul dari orang-orang yang berpaham Khawarij. Bukan kemungkaran yang hilang, melainkan yang muncul adalah kemungkaran yang lebih besar. Lihatlah misalnya sejarah Khawarij pada masa Utsman bin ‘Affan dan Ali c.1 Bukan kemungkaran yang mereka ingkari, namun kehormatan manusia terbaik saat itu dan persatuan kaum muslimin yang mereka nodai.

Di sisi lain, ada firqah yang meninggalkan penghidupan dunia hingga anak istri pun tidak terurus. Anehnya, mereka berdalih dengan tawakal. Hal ini seperti yang terjadi dalam firqah-firqah yang dibangun di atas akidah Sufi. Mereka meninggalkan ilmu Al-Kitab dan As-Sunnah, amar ma’ruf nahi mungkar, tidak peduli kesyirikan merajalela dengan alasan dakwah tauhid memecah-belah umat. Mereka pun tenggelam dalam kebid’ahan bahkan kesyirikan.

Lalu di manakah Islam yang sesuai dengan kehendak Allah l dan Rasul-Nya? Orang yang tidak mengerti akan bimbang menghadapi kenyataan yang ada, meskipun menara al-haq telah dipancangkan.

Keadaan semakin diperparah oleh propaganda musuh-musuh Islam yang terus berusaha merusak citra Islam dengan berbagai caci-maki dan tuduhan. Bahkan, mereka berusaha mengelabui manusia dengan memasukkan pemikiran sesat melalui institusi-institusi berlabel Islam. Tersebarlah imej bahwa Islam adalah agama yang tidak berakhlak, dakwah Ahlus Sunnah adalah dakwah yang keras dan tidak memiliki hikmah, atau tuduhan-tuduhan senada yang disandangkan kepada agama yang suci dan agung ini.

Kajian hadits berikut kami harapkan bermanfaat bagi kaum muslimin sehingga mereka bisa melihat kembali sebagian keindahan Islam yang dibawa oleh Rasulullah n, kesempurnaannya dan ketinggian akhlak yang beliau n ajarkan. Semoga Allah l membimbing kita untuk kembali pada akhlak Nabi n.

Takhrij Hadits

Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dalam al-Musnad (2/381), Ibnu Sa’d dalam ath-Thabaqat (1/192), al-Bazzar dalam al-Musnad (no. 2740—Kasyful Astar), ath-Thahawi dalam Syarah Musykilul Atsar (no. 4432), al-Baihaqi dalam as-Sunan (10/191—192) dan Syu’abul Iman (no. 7977 dan 7978), al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (no. 273) dan at-Tarikhul Kabir (7/188), al-Hakim dalam al-Mustadrak (2/613), al-Qudha’i dalam Musnad asy-Syihab (no. 1165), Ibnu Abi ad-Dunya dalam Makarimul Akhlaq (no. 13), serta Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid (24/333—334).
Semua meriwayatkan hadits ini melalui jalan Muhammad bin ‘Ajlan, dari al-Qa’qa’ bin Hakim, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah z.

Sebagian meriwayatkan dengan lafadz “shalihal akhlaq” sedangkan yang lainnya dengan lafadz “makarimal akhlaq.”

Hadits di atas adalah sahih, walhamdulillah. Perawi-perawinya tsiqah. Hadits ini juga memiliki syahid (penguat) dari hadits Mu’adz bin Jabal z dalam riwayat al-Bazzar (no. 1973) dan ath-Thabarani (20/120). Demikian juga syahid dari hadits Jabir bin Abdillah z yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (no. 7979).

Abu Abdillah al-Hakim an-Naisaburi mensahihkan hadits ini dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Lihat al-Mustadrak (2/613).

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah (1/112) berkata, “Sanad hadits ini hasan … Ibnu Abdil Barr berkata dalam at-Tamhid (24/333—334) bahwa hadits ini shahih muttashil (bersambung sanadnya) hingga Rasul n, melalui jalan-jalan yang sahih dari Abu Hurairah z dan lainnya.”

Fiqih Hadits

Al-Munawi t berkata, “Sabda Rasulullah n ‘innama bu’itstu’ maknanya adalah aku dibangkitkan—yakni diutus menjadi rasul—tidak lain untuk menyempurnakan akhlak yang saleh (baik), karena sebagian riwayat menyebutkan ‘untuk menyempurnakan akhlak yang karimah (mulia)’ (yakni aku diutus untuk menyempurnakannya) yang sebelumnya kurang, dan aku (diutus untuk) mengumpulkan yang sebelumnya tercerai-berai ….” (Lihat Faidhul Qadir, 2/572))

Memaknai hadits Abu Hurairah z di atas, Ibnu Abdil Barr t mengatakan bahwa kebaikan, agama, keutamaan, muru’ah (kemuliaan), ihsan (perbuatan baik), dan keadilan, semuanya tercakup dalam makna hadits ini. Dengan semua kebaikan inilah Rasulullah n diutus untuk menyempurnakannya. (Lihat at-Tamhid lima fil Muwaththa’ minal Ma’ani wal Asanid, 24/332)

Dengan diutusnya Nabi n, Allah l menyempurnakan agama sebagaimana dalam firman-Nya:

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agama bagimu.” (al-Maidah: 3)

Ayat ini merupakan dalil bahwa tidak ada satu kebaikan pun—baik amalan lahir maupun batin, akidah, ibadah, muamalah, maupun akhlak—melainkan telah diterangkan oleh Rasulullah n dengan sempurna. Demikian pula, tidak ada satu kejelekan pun melainkan Rasulullah n telah memperingatkan umat darinya.

Di antara ayat yang juga menunjukkan kesempurnaan Islam—sebagai agama yang mengajarkan semua kemuliaan dan akhlak yang baik, serta melarang segala kemungkaran dan akhlak yang buruk—adalah firman Allah l:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebaikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
(an-Nahl: 90)

Asy-Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa’di t berkata, “Keadilan yang diperintahkan oleh Allah l dalam ayat ini mencakup adil dalam (memenuhi) hak Allah l dan adil dalam hak hamba-hamba-Nya. Adil adalah memenuhi perintah-perintah-Nya yang terkait dengan harta, badan, atau keduanya, baik terkait dengan hak Allah l maupun hak hamba-hamba-Nya. Oleh sebab itu, seorang pemimpin—apakah ia imam (khalifah), qadhi (hakim), atau wakil keduanya—wajib bergaul dengan manusia secara adil yang sempurna dengan menunaikan hak-hak orang yang di bawah tanggung jawabnya … Termasuk keadilan (yang diperintahkan) adalah adil dalam bermuamalah. Maka dari itu, seseorang wajib berlaku adil dalam muamalah jual-beli atau muamalah lainnya, dengan menunaikan semua kewajiban, tidak menahan hak-hak manusia, tidak menipu mereka, tidak mengelabui atau menzaliminya … Jadi, ayat ini mengumpulkan semua perintah dan larangan. Tidak ada satu masalah pun kecuali masuk dalam ayat ini.” (Taisir al-Karimir Rahman secara ringkas, 4/332—333)

Akhlak Rasulullah n

Sebagai Rasul yang diutus untuk menyempurnakan akhlak dan semua kebaikan, beliau n telah memberikan teladan kepada umatnya secara sempurna melalui sabda dan amal perbuatan. Seluruh sisi kehidupan dan ucapan beliau sesungguhnya merupakan teladan akan kesempurnaan akhlak dan kemuliaan amalan. Ketinggian akhlak itu tecermin dalam hadits Aisyahx:

كاَنَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
“Akhlak Rasulullah n adalah al-Qur’an.” (HR. Muslim)

Bahkan, Allah l memuji akhlak beliau dalam firman-Nya:

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (al-Qalam: 4)

Membicarakan akhlak Rasul n, ibarat seseorang yang menyeberang lautan tak bertepi, begitu luasnya. Meskipun demikian, marilah sejenak kita menyimak beberapa kisah dalam kehidupan Rasul n bersama umatnya yang dipenuhi keindahan akhlak dan keagungan budi pekerti.

Saudaraku, semoga Allah l merahmati Anda, beliau n adalah sosok yang sangat dekat dengan umatnya, apapun keadaan mereka. Kaya, miskin, bangsawan, atau budak. Beliau bergaul dengan umat dengan penuh kelembutan dan akhlak mulia.

Allah l menyanjung baiknya akhlak Rasul n ini dalam firman-Nya:

“Maka disebabkan oleh rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali Imran: 159)

Zahir, demikian nama seorang Arab badui. Meski memiliki bentuk dan wajah yang jelek namun Rasul n mencintainya. Zahir biasa datang ke Madinah mengunjungi Rasul n membawa hadiah dari desanya. Rasul n pun membalasnya dengan menyiapkan sesuatu sebelum Zahir pulang ke desa. Rasul n bersabda, “Zahir adalah badui kita, dan kita adalah orang kotanya dia (Zahir).”

Suatu hari Zahir berada di pasar kota Madinah menjual barang dagangan. Tanpa sepengetahuannya, Rasulullah n datang memeluknya dari belakang. Berkatalah Zahir, “Siapa ini? Lepaskan aku!”

Ketika Zahir menoleh, didapatinya ternyata Nabi n yang memeluknya. Ia pun membiarkan tubuhnya tetap bersatu dengan tubuh Rasul n.

Subhanallah, betapa indahnya pemandangan ini. Duhai, seandainya para bangsawan dan orang-orang yang merasa memiliki kemuliaan itu meneladani akhlak Rasul n dalam bergaul dengan saudara-saudaranya seiman meskipun miskin dan papa.

Tiba-tiba Rasul n bergurau dengan mengatakan, “Siapa yang mau membeli hamba ini (yakni Zahir)?”
Zahir segera menimpali, “Ya Rasulullah, berarti aku adalah orang yang tidak berharga?” Rasul n pun berkata, “Tidak demikian, sungguh engkau mahal di sisi Allah.” (Lihat kisah ini dalam asy-Syama’il al-Muhammadiyah karya at-Tirmidzi, disahihkan oleh al-Albani t dalam Mukhtashar asy-Syama’il no. 204)

Beliau n bukan orang yang berperilaku kasar atau berlisan tajam menyakitkan. Beliau n adalah sosok yang sangat lembut dan penuh kasih sayang. Terkadang beliau n bersenda gurau dengan para sahabatnya hingga mereka berkata, “Ya Rasulullah, engkau bersenda gurau dengan kami?” Beliau bersabda, “Ya, (aku bersenda gurau dengan kalian). Hanya saja, aku tidak pernah berkata selain yang benar.” (HR. at-Tirmidzi dalam asy-Syama’il no. 202 dari hadits Abu Hurairah z, disahihkan oleh al-Albani)

Pernah seorang sahabat datang kepada Rasul n meminta hewan tunggangan. Beliau n bersabda, “Kalau begitu sungguh aku akan naikkan engkau pada seekor anak unta!”

Rasulullah n bermaksud memberikan unta yang kuat, tetapi beliau n bahasakan dengan “anak unta” hingga sahabat ini menyangka bahwa “anak unta” yang beliau maksud adalah unta kecil yang tidak memiliki kekuatan. Demikianlah Rasul n bergurau.

Laki-laki ini pun berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang bisa kuperbuat dengan anak unta itu?”

Rasulullah n bersabda, “Bukankah semua unta (perkasa) adalah anak dari seekor unta betina?” (HR. al-Bukhari)

Subhanallah. Lihatlah gurauan Rasul n yang menyejukkan dan jauh dari kedustaan. Bukankah sepantasnya kita menyudahi banyak gurauan kita yang dipenuhi kedustaan dan cerita-cerita karangan? Ya Allah, berikan taufik kepada kami untuk mengikuti jalan Nabi-Mu.

Saudaraku, setelah kita melihat beberapa sisi kehidupan Rasulullah n yang diliputi kemuliaan akhlak, sejenak kita simak ucapan-ucapan beliau n tentang akhlakul karimah, yang Allah l utus beliau untuk menyempurnakannya.

Sabda Rasul n tentang Akhlak

Hadits-hadits Nabi n demikian beragam berbicara tentang akhlak. Terkadang berisi perintah dan anjuran untuk berhias dengan akhlak yang terpuji dalam bergaul dengan manusia. Ada kalanya beliau n menyebut besarnya pahala akhlak mulia dan beratnya pahala akhlak dalam timbangan. Pada kesempatan yang lain, beliau n memperingatkan manusia dari akhlak yang buruk dan tercela.

Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash z meriwayatkan bahwa Rasul n pernah bersabda:

إِنَّ مِنْ أَخْيَرِكُمْ أَحْسَنَكُمْ خُلُقًا

“Sesungguhnya yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. al-Bukhari, 10/378 dan Muslim no. 2321)

Dalam hadits lain, Rasul n berpesan kepada Abu Dzar al-Ghifari dan Mu’adz bin Jabal untuk bergaul dengan manusia dengan akhlak yang baik dalam sabda beliau:

اتَّقِ اللهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Bertakwalah kamu kepada Allah di mana pun kamu berada. Iringilah kesalahanmu dengan kebaikan, niscaya ia dapat menghapusnya. Dan pergaulilah semua manusia dengan akhlak (budi pekerti) yang baik.”2 (HR. at-Tirmidzi no. 1987, beliau mengatakan, “Hadits ini hasan.” Dalam naskah lainnya dikatakan bahwa hadits ini hasan sahih.

Rasul n mengabarkan pula bahwa akhlak yang baik mampu mengejar amalan ahli ibadah. Dalam sebuah hadits Aisyah Ummul Mukminin berkata, “Aku mendengar Rasulullah n bersabda:

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ
“Sesungguhnya seorang mukmin dengan akhlaknya yang baik akan mencapai derajat orang yang selalu shalat dan berpuasa.” (HR. Abu Dawud no. 4798, disahihkan oleh al-Albani)

Ummu ad-Darda’ x meriwayatkan dari suaminya, Abu ad-Darda’ z, Rasulullah n pernah bersabda:

مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي الْمِيْزَانِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ

“Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam al-mizan (timbangan) daripada akhlak yang baik.” (HR. Abu Dawud no. 4799, disahihkan oleh al-Albani)

Akhlak yang baik adalah sebab seseorang memperoleh derajat yang tinggi di jannah Allah k. Sebaliknya, akhlak yang buruk adalah sebab seseorang terhalangi dari kenikmatan jannah.
Dari Abu Umamah z, dia berkata, Rasulullah n bersabda:

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبْضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا، وَبِبَيْتٍ فِي وَسْطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحاً، وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لَمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ

“Aku memberikan jaminan dengan sebuah rumah di tepi jannah bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun ia berhak. Aku juga memberikan jaminan dengan sebuah rumah di tengah jannah bagi yang meninggalkan kedustaan walaupun dalam senda gurau. Aku juga menjanjikan sebuah rumah di jannah tertinggi bagi yang membaguskan akhlaknya.” (HR. Abu Dawud)

Dari al-Haritsah bin Wahb z, ia berkata, Rasulullah n bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةْ الَجوَّاظُ، وَلَا الْجَعْظَرِيُّ

“Tidak akan masuk jannah orang yang kasar dan kaku.” (HR. at-Tirmidzi)

Alhasil, sabda-sabda Nabi n sangat banyak dan beragam dalam mengungkapkan kedudukan akhlakul karimah dan kemuliaannya. Karena pentingnya akhlak, ulama ahlul hadits berusaha mengumpulkan hadits-hadits tersebut dalam kitab-kitab mereka. Al-Bukhari menulis al-Adabul Mufrad, Abu Dawud membuat sebuah kitab tentang adab dalam as-Sunan, at-Tirmidzi membuat kitab al-Birr was-Shilah dalam Sunan-nya. Bahkan, at-Tirmidzi menulis sebuah kitab khusus tentang perikehidupan Rasul n dari segala sisi, yang beliau beri judul asy-Syamail al-Muhammadiyah. Demikian pula yang dilakukan oleh ulama-ulama ahlul hadits lainnya dalam kitab-kitab mereka.

Memohon Akhlak yang Baik dan Berlindung dari Akhlak yang Buruk

Doa adalah sebesar-besar pintu kebaikan karena Allah l telah berjanji akan mengabulkan doa hamba-Nya. Itulah pintu kebaikan yang seharusnya seluruh hamba mengetuknya.

Rasulullah n memberikan teladan kepada umatnya agar berdoa memohon akhlak yang terpuji dan berlindung dari akhlak yang tercela. 

Dalam sebuah hadits, Ibnu Mas’ud z berkata, Rasulullah n berdoa:

اللَّهُمَّ حَسَّنْتَ خَلْقِي فَحَسِّنْ خُلُقِي

“Ya Allah, sebagaimana Engkau baguskan badanku, perbaikilah akhlakku.” (HR. Ahmad, 1/403, Ibnu Hibban no. 959)

Doa ini bebas, bisa dibaca kapan saja seorang menghendaki dan tidak terikat dengan tempat atau keadaan. Doa ini bukan doa khusus saat bercermin. Memang benar, ada beberapa jalan dari hadits ini yang menjelaskan bahwa doa tersebut dibaca saat bercermin namun jalan-jalan itu sangat lemah.

Asy-Syaikh al-Albani t berkata setelah menyebutkan riwayat-riwayat hadits yang mengkhususkan doa tersebut saat bercermin, “Nyata sudah dari penjelasan yang telah lalu bahwa jalan-jalan ini semuanya lemah. Dan tidak mungkin dikatakan bahwa jalan-jalan itu saling menguatkan karena kelemahannya yang sangat. Oleh karena itu, tidak benar berdalil dengan hadits ini dalam hal disyariatkannya doa ini saat bercermin ….” (Irwa’ul Ghalil, 1/113—115)

Adapun isti’adzah (permohonan perlindungan) yang diajarkan oleh Rasul n disebutkan dalam riwayat berikut. Dari Ziyad bin ‘Ilaqah, dari pamannya3, ia berkata, “Adalah Rasulullah n selalu membaca doa:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَالْأَهْوَاءِ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari akhlak-akhlak yang mungkar, dari amalan-amalan yang mungkar, dan dari hawa nafsu yang menyimpang.” (HR. at-Tirmidzi no. 3591, disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, 3/473)

Hadits ini berisi permohonan perlindungan kepada Allah k dari tiga kemungkaran.

1. Berlindung dari akhlak yang mungkar, karena dari akhlak yang mungkar inilah kejelekan-kejelekan menimpa seseorang.

2. Berlindung dari amalan-amalan yang mungkar, yaitu dosa-dosa dan kemaksiatan.

3. Berlindung dari hawa nafsu yang mungkar.

Sebagian ulama mengatakan bahwa kata “akhlak” dalam hadits ini artinya adalah amalan-amalan batin sedangkan “al-a’mal” adalah amalan-amalan lahir. Jadi, doa di atas isinya adalah meminta perlindungan kepada Allah l dari dosa-dosa yang lahir dan batin. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 10/50)


Kembali kepada Akhlak Nabi n

Orang-orang yang jujur dalam mencintai Allah l akan meneladani Rasulullah n dalam hal petunjuk dan akhlaknya. Allah l berfirman:

Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali Imran: 31)

Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi kita dan mendorong diri kita untuk berusaha mencari kecintaan Allah l dengan kembali pada akhlak Nabi n. Saya ingin mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh asy-Syaikh al-Albani t dalam Muqaddimah Mukhtashar asy-Syamail al-Muhammadiyah, “Aku berharap dengan tulus kepada Allah l semoga kitab ini4 menjadi bimbingan bagi kaum muslimin untuk mengenal akhlak mulia pada diri Rasul n dan sifat-sifat agung yang beliau berhias dengannya, sehingga membawa mereka untuk mengikuti petunjuknya, berakhlak dengan akhlaknya, dan memetik secercah cahayanya.

Terlebih di zaman yang kaum muslimin hampir-hampir lupa dengan firman Allah l:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (al-Ahzab: 21)

Apalagi di tengah-tengah muslimin ada dai yang merasa tidak butuh mengikuti Rasulullah n dalam banyak petunjuk dan adabnya, seperti sifat tawadhu dalam berpakaian, makan, minum, tidur, shalat, dan ibadah-ibadah beliau n. Bahkan, ada di antara mereka yang mengajari pengikutnya untuk merasa tidak membutuhkan beberapa petunjuk Rasul n, seperti ajaran Rasul n untuk makan dan minum dengan duduk, serta ajaran beliau untuk mengangkat kain di atas kedua mata kaki.

Mereka menganggap semua itu sebagai bentuk memaksakan diri dan sesuatu yang membuat lari manusia dari Islam. Engkau pun akan mendapati mereka tidak peduli menyeret bajunya menyentuh tanah dengan dalih bahwa ia melakukannya bukan karena sombong! Bahkan, ia berdalil dengan sabda Rasul n kepada Abu Bakr ash-Shiddiq:

لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُ خُيَلَاءً

“Engkau bukan termasuk orang yang melakukannya karena sombong.”

Mereka lalai akan perbedaan yang sangat jauh antara Abu Bakr z dan diri mereka. Abu Bakr z tidak menyengaja menjulurkan sebagian bajunya di bawah mata kaki sebagaimana sangat tampak pada ucapan beliau:

إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ إِزَارِي يَسْتَرْخِي

“Sesungguhnya salah satu sisi sarungku melorot (yakni tidak sengaja terjulur di bawah mata kaki, –pen.).”

Adapun mereka menyengaja memanjangkan dan menyeret baju mereka. Mereka juga bodoh atau pura-pura bodoh terhadap sifat (bentuk) baju Nabi n (yang tentu kita yakini sebagai sifat baju yang paling baik dan diridhai Allah l, –pen.) dalam sabda beliau:

هَذَا مَوْضِعُ الْإِزَارِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَلَا حَقَّ لِلْإزَارِ فِي الْكَعْبَيْنِ

“Di sinilah (pertengahan betis inilah –al-Albani) batas kain. Jika engkau tidak bisa maka di bawahnya. Jika tidak maka tidak ada hak sedikit pun bagi dua mata kaki (untuk ditutup kain).”

Dalam hadits lain beliau n bersabda:

مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإِزَارِ فِي النَّارِ

“Apa yang di bawah dua mata kaki dari kain maka berada di neraka.”

Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar c, beliau berkata, “Suatu saat aku berpapasan dengan Rasul n, sementara kain yang kupakai menurun. Beliau bersabda, ‘Wahai Abdullah, tinggikan kainmu!’ Aku pun menaikkannya. Beliau kembali bersabda, ‘Tambah lagi!’ Aku pun menambahnya. Semenjak itu, aku terus menjaga kainku (di batas yang ditentukan oleh Rasulullah n). Sebagian orang bertanya, “Wahai Ibnu Umar, sampai batas mana (Rasul memerintahkanmu mengangkat kain)?” Ibnu Umar menjawab, “Sampai pertengahan betis.”

Aku (al-Albani, -pen.) mengatakan, “Orang yang seperti Ibnu Umar saja—yang termasuk pemuka sahabat yang mulia dan yang paling bertakwa—Nabi n tidak mendiamkan dengan kainnya yang melorot. Beliau n memerintahkan Ibnu Umar z untuk mengangkatnya. Bukankah ini menunjukkan bahwa adab berpakaian di atas mata kaki tidak (hanya) dikaitkan dengan kesombongan?

(Jika Ibnu Umar z yang jauh dari kesombongan saja ditegur oleh Rasul), sungguh seandainya Rasulullah n melihat sebagian dai itu menyeret-nyeret kainnya pasti beliau mengingkarinya. Mereka tidak akan mampu mengelak dengan ucapan, “Kami tidak menyeretnya karena sombong!” (Tidak mungkin mereka mengelak,) karena Ibnu Umar yang zuhud lebih jujur daripada mereka mengatakan, “Aku tidak melakukannya karena sombong.” Meskipun (Ibnu Umar tidak melakukannya karena sombong), Rasul n tetap mengingkarinya. Ibnu Umar juga bersegera memenuhi seruan Rasul n. Masih adakah hari ini orang yang menerima seruan Rasul n?

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedangkan dia menyaksikannya.” (Qaf: 37)(Muqaddimah Mukhtashar asy-Syamail al-Muhammadiyah, hlm. 10—11)

Walhamdulillah Rabbil ‘alamin.

Sumber: http://asysyariah.com/meneladani-akhlak-nabi/ (Judul Asli: Meneladani Akhlak Nabi)

Selasa, 21 Oktober 2014

Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Rujukan Dalam Beragama



Ahlus Sunnah wal Jama’ah Haruskah dijadikan rujukan dalam beragama?

Para pembaca, semoga Allah  senantiasa membimbing kita untuk selalu taat kepada-Nya. Kajian kita kali ini diawali dengan suatu pertanyaan yang mungkin membuat para pembaca sedikit mengernyitkan dahi.

Hal ini dikarenakan adanya konsekuensi yang cukup berat di balik jawaban dari pertanyaan tersebut. Suatu jawaban yang akan mengisyaratkan sikap mental dan prinsip kita dalam beragama. Untuk itu, mari kita kaji lebih mendalam istilah tersebut.


Pengertian Ahlus Sunnah wal Jama’ah

1. Definisi As-Sunnah

As-Sunnah secara bahasa adalah jalan yang ditempuh atau cara pelaksanaan suatu amalan, baik dalam perkara kebaikan maupun kejelekan. (Fathul Bari, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqolany rahimahullah, jilid 13)

Adapun pengertian dalam istilah syari’ah adalah petunjuk dan jalan di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya berada di atasnya, baik dalam hal ilmu, ‘aqidah, ucapan, ibadah, akhlaq maupun mu’amalah. Sunnah dalam makna ini wajib untuk diikuti. (Al-Washiyyah Al-Kubra fi ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hal.23)

Jadi makna As-Sunnah di sini bukan seperti dalam pengertian ilmu fiqih, yaitu: suatu amalan yang apabila dikerjakan mendapat pahala, dan apabila ditinggalkan tidak berdosa.

2. Definisi Al-Jama’ah

Al-Jama’ah, secara bahasa, berasal dari kata “Al-Jam’u” dengan arti mengumpulkan yang bercerai-berai. (Qamus Al-Muhith, karya Al-Fairuz Abadi rahimahullah)

Adapun secara istilah syari’ah berarti orang-orang terdahulu dari kalangan shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan para pengikut mereka hingga Hari Kiamat. Mereka berkumpul dan bersatu di atas Al-Haq (kebenaran) yang bersumber dari Al-Kitab dan As-Sunnah, serta para imam mereka. (Al-I’tisham, karya Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah, I/28)

Dari penjelasan diatas, maka Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang konsisten berpegang teguh dengan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka adalah dari kalangan shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Tabi’in (murid para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), Tabi’ut Tabi’in (murid para Tabi’in), dan para imam yang mengikuti mereka, serta orang-orang yang mengikuti jalan mereka hingga hari Kiamat dalam perkara ‘aqidah, ucapan, dan amalan. (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, karya Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafy rahimahullah, hal. 33)

Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang paling antusias dalam merujuk kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wasallam berdasarkan pada pemahaman para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ini adalah PRINSIP UTAMA dalam agama ini dan merupakan satu-satunya kunci bagi umat ini untuk bersatu dan terhindar dari perpecahan.

Hal ini ditegaskan dan ditekankan oleh Ar-Rasul  shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk tetap bertaqwa kepada Allah dan senantiasa mendengarkan dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habsyi. Barangsiapa di antara kalian yang hidup (berumur panjang), niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Kulafa’ur Rosyidin. Gigitlah sunnah itu dengan gigi-gigi geraham kalian (peganglah kuat-kuat-red). Dan jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam urusan agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan, kecuali An-Nasa’i)

Dan dalam riwayat An-Nasa’i disebutkan bahwa Rasulullah  bersabda: “dan setiap kesesatan akan masuk An-Nar (neraka).”

Ar-Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjelaskan tentang adanya satu kelompok yang diselamatkan oleh Allah, dan satu-satunya yang selamat dari An-Nar (neraka).

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari shahabat (murid beliau) Mu’awiyah bin Abu Sufyan radliyallahu ‘anhuma:

“Ketahuilah bahwa Ahlul Kitab sebelum kalian telah terpecah belah menjadi 72 golongan, dan sungguh umat ini juga akan terpecah menjadi 73 golongan. Yang 72 golongan di dalam neraka. Dan satu golongan di dalam Al-Jannah (surga), mereka itu adalah Al-Jama’ah.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ad-Darimi dan Al-Hakim. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 203-204, I/404).

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa para shahabat  radliyallahu ‘anhum bertanya:

“Siapakah Al-Jama’ah itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah  menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang berada di atas apa yang aku dan para shahabatku pada hari ini berada di atasnya (manhaj, aqidah, ibadah, mu’amalah, dan akhlaq yang islami-red).” (HR. Ath-Thabarani di Al-Mu’jam Ash-Shaghir, I/256)

Dari hadits-hadits tersebut, Rasulullah  menegaskan bahwa satu-satunya “solusi” agar umat selamat (terhindar) dari perpecahan, kebinasaan, kesesatan adalah hanya dengan mengembalikan segala urusan agama kepada “Sunnah” beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan “Sunnah” para shahabat radliyallahu ‘anhum.

Berpegang teguh dengan “Sunnah” para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bermakna mengembalikan semua pemahaman terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah (Al-Hadits) kepada pemahaman mereka, karena di tengah-tengah merekalah ayat-ayat Al-Qur’an turun dan mereka mendengar langsung pengertiannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Terlalu banyak untuk disebutkan di sini ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits yang mengabarkan tentang tingginya keutamaan dan kedudukan para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di sisi Allah  dan Rasul-Nya.

Mereka adalah manusia terbaik setelah Ar-Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Terbaik dalam segala hal dalam urusan agama ini, ilmu, iman, taqwa, pemahaman, pengamalan, pembelaan terhadap agama ini, dsb.

Untuk itulah kita diperintahkan mengikuti petunjuk dan jalan mereka. Bahkan, barangsiapa mengikuti jalan selain jalannya para shahabat , niscaya Allah  akan biarkan dirinya tenggelam dalam kesesatan.
Allah  berfirman dalam Al-Qur`an surat An-Nisa: 115, yang artinya:

“Barangsiapa menentang Ar-Rasul setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan selain jalannya kaum mukminin, maka Kami biarkan dia leluasa bergelimang dalam kesesatan (berpaling dari kebenaran), dan Kami masukkan dia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali.”

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah lainnya menjelaskan bahwa ‘jalannya kaum mukminin’ dalam ayat di atas maksudnya adalah jalannya para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.


Sebutan lain dari Ahlus Sunnah

As-Salafy Adalah nama lain dari Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Begitu juga Al-Firqatun Najiyah, Ath-Thaifah Al-Manshurah.

Istilah “As-Salafy” atau “Salafy” atau “As-Salafus Shalih” sebenarnya merupakan istilah syar’iyyah (sesuai dengan syariat Islam). Istilah tersebut bukanlah slogan keduniaan yang berkenaan dengan politik, sosial, ekonomi ataupun yang lainnya. Bukan pula nama bagi individu, organisasi, yayasan, partai ataupun aliran-aliran tertentu yang mengatasnamakan Islam.

Arti ‘Salaf’ secara bahasa adalah ‘pendahulu’ bagi suatu generasi (kamus Al-Muhith).

Sedangkan dalam istilah syariah berarti orang-orang pertama yang memahami, mengimani, memperjuangkan, serta mengajarkan Islam yang diambil langsung dari shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in. Istilah yang lebih lengkap bagi mereka ini ialah ‘As-Salafus Sholih’ (para pendahulu yang sholih-red). (Al-Aqidah As-Salafiyah baina Al-Imam Ibnu Hanbal wal Imam Ibnu Taimiyyah, karya Dr. Sayyid Abdul Aziz As-Sily, hal.25-28)

Sedangkan seorang muslim yang mengikuti pemahaman ini dinamakan ‘Salafy’ atau ‘As-Salafy’ (majalah As-Shalah, no. 9, halaman 86-90, keterangan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah)

Penggunaan istilah ‘Salaf’ atau ‘Salafy’ sebenarnya bukanlah hal asing atau sesuatu yang baru dalam agama ini. Istilah ini banyak kita jumpai dalam kitab-kitab para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah sejak dahulu.

Selain disebut As-Salafy, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, disebut juga dengan Al-Firqatun Najiyah (kelompok yang selamat) atau juga Ath-Thaifah Al-Manshurah (kelompok yang mendapat pertolongan). Mereka senantiasa ada pada setiap generasi untuk membimbing umat ini.

Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim:

“Akan senantiasa ada dari umatku (tiap generasi) sekelompok orang yang selalu tampak di atas Al-Haq, tidak akan menyusahkan mereka orang-orang yang meninggalkan mereka sampai datang keputusan Allah (Hari Kiamat).”

Merekalah Al-Firqatun Najiyah Al-Manshurah.

Para imam besar ahlus sunnah (semisal Al-Imam Asy-Syafi’i, Ahmad, Abdullah Ibnul Mubarak,  Al-Bukhari, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Ajurry, An-Nawawi, dan lain-lain) sepakat bahwa mereka adalah para ulama ‘Ahlul Hadits’.

Ahlul Hadits adalah para ulama besar di jamannya. Merekalah yang paling berhak untuk dijadikan rujukan pada setiap permasalahan dalam agama ini, karena mereka adalah golongan yang paling kuat hujjahnya, paling tahu tentang Al-Qur’an sebagaimana dikatakan oleh ‘Umar ibnul Khotthob:

“Akan ada sekelompok orang yang mendebat kamu dengan syubhat-syubhat (kerancuan pemahaman) yang mereka ambil dari Al-Qur’an, maka bungkamlah syubhat-syubhat mereka itu dengan Sunnah (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam), karena orang yang tahu tentang sunnah/hadits adalah orang yang paling tahu tentang Al-Qur’an.” (Diriwayatkan oleh Al-Ajurry dalam Asy-Syari’ah, hal. 48, dan kitab lainnya).

Demikianlah para pembaca yang mulia, berdasarkan pada keterangan-keterangan di atas, maka Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah satu-satunya yang akan mendapatkan pertolongan Allah dan selamat dari siksa api neraka. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk meniti jejak mereka, baik dalam masalah manhaj, aqidah, ibadah, akhlaq, atau mu’amalah. Tidak ada pilihan yang lain.

Karena mereka tidaklah ber-ta’ashshub (fanatik) kepada pendapat seseorang/organisasi tertentu, kecuali hanya kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka adalah satu dan kokoh diatas satu prinsip, walaupun tempat mereka berbeda-beda dan tersebar di berbagai negeri.

Alhamdulillah, di masa kita sekarang ini sangat mudah untuk mendapatkan bimbingan dari para ulama Ahlul Hadits (Ahlus Sunnah). Kitab-kitab mereka tersebar di berbagai pelosok negeri, bahkan dari tulisan para imam As-Salafus Shalih yang terdahulu hingga para ulama Ahlul Hadits di masa ini.
Semoga Allah  senantiasa membimbing kita diatas “Ash-Shirathal Mustaqim”. Yaitu jalannya orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dari kalangan para Nabi, shahabatnya dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai pewaris dan penjaga risalah Ilahi… Amin.

Wallahu a’lam bish showab.

Sumber: http://www.darussalaf.or.id/manhaj/ahlus-sunnah-wal-jamaah-haruskah-dijadikan-rujukan-dalam-beragama/ (Dengan judul asli: Ahlus Sunnah wal Jama’ah Haruskah Dijadikan Rujukan Dalam Beragama?)

Ahlussunnah-Salafy. Diberdayakan oleh Blogger.